Kutinggalkan
lamunanku sebentar, lalu kukirimkan pesan dari Blackberryku untukmu.
Kulangkahkan kaki ke pub seberang kantorku. Aku meminta kamu untuk menemaniku
minum seteguk dua teguk atau berteguk- teguk alkohol malam ini. Lalu, setelah
kita tipsy, kau akan menghiburku di kamar. Membicarakan kejadian lucu tadi
siang di kantormu, atau hanya menonton tivi sambil tidak peduli satu sama lain,
kemudian sibuk mengecek setiap profil facebook teman- teman kita dan membalas
twitter dari orang yang tidak kukenal. Walaupun kita hanya bertemu kadang-
kadang, tapi rasa sayangku padamu tidak pernah berkurang. Bertambah justru.
Apalagi ketika kamu menangis sambil menggenggam ponselmu karena masalah sepele dengan
bos atau teman kerjamu, lalu menanyakan kapan kita akan bertemu. Kamu
terus mendesak aku mampir
ke Jakarta sebulan sekali untuk bertemu. Sekali dua kali kau menangis, aku bisa tahan. Berkali-
kali seperti kemarin, aku mau mati rasanya.
Well, aku memang
tidak pernah bisa mengerti pikiran kamu. Seringkali kamu terlalu melankolis,
menangis tersedu- sedu saat aku meninggalkanmu dua jam untuk bermain billyard
dengan teman kantorku. Di saat yang lain, kamu mampu seminggu tak menghubungiku
sama sekali. Kamu terlihat tidak peduli. Seperti sekarang ini. Sekarang sudah
jam setengah sebelas malam. Orang gila mana yang mau menunggu pacarnya lima jam
lebih. Cuma aku. Padahal kamu sering marah- marah kalau aku terlambat dua menit
saja. Hei, apakah ini wajar? Mungkin aku terlalu memanjakanmu, membelikan
sepatu seharga dua juta saat kamu ngambek, lalu menemanimu pergi ke salon
selama tiga jam. Perawatan top to toe. Tapi semua itu terbayar saat kamu
tersenyum cantik dengan rambut ikal rapi. Kamu terlihat seperti barbie dengan
kulit tanned.
Aku masih menunggu
kamu, kuputuskan kalau sampai jam dua belas nanti kamu tidak datang. Aku akan
pulang. Dari tadi kuhubungi ponselmu, tapi tak kau angkat- angkat. Apakah aku
harus menghubungi ibumu? Tapi setiap dia tau aku menelponmu, dia selalu bilang
kamu tidak ada, sedang mandi, sedang makan, sedang tidur, sedang berenang atau
belanja. Banyak sekali alasannya. Lagian menghubungi orangtuamu sama saja
dengan bunuh diri. Mengiris hati sendiri. Untung saja aku seorang yang optimis.
Aku selalu berpikiran bahwa mereka akan menerima hubungan kita nanti.
Ini batang rokokku
yang ketujuh. Lama- lama aku bisa menghabiskan satu bungkus untuk menunggumu
saja. Begitu mau aku nyalakan, aku melihat kilatan bayanganmu. Hah, itu kamu!
Ingin kupeluk rasanya. Kamu datang dengan tersenyum, lalu mencium pipiku. Kau
ambil rokok mintku, kau nyalakan, lalu kau hisap asapnya.
"Maaf ya
sayang, aku tadi banyak banget kerjaan. Untung kamu orangnya sabar.",
katamu sambil tersenyum dan membelai pipiku.
"Lima jam
lebih!"
"Sorry, tadi
kan aku udah minta maaf..."
Aku hanya
mengangkat bahu sambil meneguk alkohol lagi. Kamu hanya tersenyum menatapku.
Kalau sudah begini, aku tak mau menatap wajahmu. Aku takut mati. Kamu terlalu
cantik.
"Kamu harus
bayar lima jam aku. Kemana kita besok? Lusa aku udah harus balik ke
Pontianak."
"Hmmm...besok
malam aku mau masak buat kamu. Special menu! Gimana?"
"Boleh! Kamu
jago ngerayu aku.", kataku sambil menyalakan rokok lagi.
***
Bertemu kamu sebentar saja sudah menjadi candu bagiku.
Apa indahnya rindu jika saat merasanya aku menjadi kosong. Kamu adalah berhala
bagiku, kusembahyangi dan kupuja. Bukankah jarak menjadi lebih jauh ketika
manusia saling jatuh cinta? Kantor kita hanya berjarak dua kilo, tapi dengan
perasaan ini, aku berpikir, jarak kita seperti Jakarta- Afrika. Satu malam lagi
aku akan berpikir jarak Jakarta- Pontianak akan sejauh Jakarta- Andromeda. Semalam
lagi, aku akan kembali ke pekerjaan yang sudah setahun aku tekuni, dan
seringkali aku maki. Seringkali aku hanya menutup mata dan berpikir untuk
melipat dunia seperti peta, aku dan kamu akan bertemu saat itu.
Kamu akan masak malam ini. Aku yakin seratus persen
masakanmu enak, walaupun yakin duaribu persen akan kemanisan. Apalagi saat aku
melihat wajahmu. Aku mencintai kamu, terlebih aku mencintai saat menghabiskan
waktu denganmu. Satu- satunya yang aku benci adalah waktu. Jam pasir bergerak
seribu kali lebih cepat jika kamu di sampingku.
Aku akan memakai kemeja yang waktu itu kau belikan, lalu
kusemprotkan parfum maskulin kesukaanmu. Aku berjalan meninggalkan kamar
hotelku lalu mencegat taksi. Perasaanku bahagia. Kutinggalkan seratus ribuan
untuk Pak Sopir tanpa kembalian. Cepat- cepat aku menuju apartemenmu. Ketika
kupencet belnya, satu menit kemudian ratuku datang. Aku disambut oleh bau
masakan yang luar biasa.
“Selamat datang di restoran saya. Anda datang di waktu
yang tepat. Silahkan memesan menu special hari ini. Ada udang goreng berbalut
tepung dengan saus mayonnaise, gurame special dengan saus asam manis. Kangkung
cah ekstra pedas dengan telur puyuh.”
“Saya mau semua, please.”, kataku sambil mengecup pipimu.
“Dengan senang hati. Pelanggan adalah raja.”
Lalu kamu sibuk mengatur meja dan mengambilkan nasi dan
lauk untukku sambil bersenandung.
“Hari ini aku bakal ngenalin satu orang yang spesial.”,
ucapmu sambil tersenyum.
“Oh ya? Siapa?”, tanyaku penasaran. Selama ini kamu tidak
pernah mengenalkan seseorang special buatmu.
“Kayaknya sebentar lagi dia datang.”
Tujuh menit berlalu sambil menikmati masakanmu. Ada bel
di depan pintu. Kau bergegas untuk menyambut tamu spesialmu. Aku bergegas
meninggalkan meja dan menyambut tamu istimewa yang kau janjikan. Kulihat di
depan pintu, ada seorang laki- laki tinggi, tampan, dan rapi. Kusodorkan
tanganku untuk menyalaminya, tidak sengaja parfumnya tercium, baunya sama dengan
parfumku. Sepertinya orang ini benar- benar special. Lalu kau menyebut namanya,
dan memperkenalkannya padaku.
“Kenalin, ini Frans, dia itu… pacar aku… jeng jeng jeng…”
Hah? Apa aku tidak salah dengar?
“Frans, ini Jenny, tapi karena dia super duper tomboy
begini, aku panggil dia Jay. She is my special best friend ever yang paling
sabar sepanjang masa hidup dan mati. Jay, sorry ya, aku mau bikin surprise,
jadinya aku ngga cerita- cerita kalau aku lagi deket sama Frans.”
Haha, hanyakah aku yang berpikir bahwa kita saling
mencintai. Ternyata kamu terlalu sempurna, terlalu biasa, sama seperti yang
lainnya. Aku harus menyiapkan diri untuk tidak menerima telpon ucapan selamat
pagi darimu lagi, dan harus bersyukur aku mungkin tidak akan mendengarkan kamu
menangis lagi. Kamu sudah menemukan bahu yang lebih kokoh dan kekar.
Selamat malam berhalaku. Ini pertamakalinya aku mengenal
kamu dengan sungguh.
-Nia-